You don’t want to hear the story
of my life, and anyway
I don’t want to tell it
It’s the same old story,
a few people
just trying, one way or another,
to cope with being alive
I’m ashamed even—
I was once tricked by the myth that moving more means living more.
Free-spirited travelers, with gold-lined pockets,
carried by convenience—
the same expensive restless ache, painting each face,
leaving footprints on fragile places that never asked for us
Called backpackers—
but where’s the minimalism?
When we leave a place
full of bags of money,
like little secrets—
when we are rich enough
to carry a whole life
In a revolving door airplane.
Oh, but it’s so easy to condemn something
we have the resources to do—
like don’t cut down that forest
when my entire nation
already inhaled their land’s entire breath.
I say this softly—
do you romanticize this lifestyle
without making your own truth?
There is more than one way to see the world.
The countries people claim to have visited—
one big illusion,
So vast,
you only ever glimpse
the room you’re standing in
while the planet sighs under the carbons footprint
and blushes under cultures worn thin
And someday you realize—
You could have lived in a moment.
The ones that bring you close—
to the skin you’re in,
to the heart you carry with you.
Somewhere, everyone learns
that new places
don’t equal new beginnings—
The same shadow casts
a new puppet show,
In a new language,
from a different angle of the sun,
But the script stays the same—
a cycle fueled by all-consuming desire,
by the myth that moving more means living more.
Stamps in a passport are ink on dead trees,
But when did you last look
at the softness of light
tossed across restless leafy garments,
rustling existence
into
movement.
So I’m still now.
I live here
selamanya.
Are you a traveler?
We can talk awhile,
But then you must promise—
to share a silence
The way rocks share streams,
steady, mute, patient.
We can discuss the problems of this world,
but then we must turn off even that sound,
turn to look at every living thing
that breathes around us—
and wonder what we’ve traded
for the thrill of using a passport.
I know how to wallow,
How to curl until I hardly exist.
I still taste the stale salt on my skin—,
And I glimpse the plastic bits of me
that still drift
out there.
I drag my feet
through the clacking bones
of all the versions of myself
I had to kill with my bare hands.
We must move—
but not the way the internet claims.
Because movement blurs vision—
like shaky photos behind closed eyes—
and restless thoughts never settle.
How can you purify water
if it never calms?
What are we?
about sixty percent?
Isn’t that the point of it all?
To drink enough water?
To be gentle with what we once
were young enough to mistake
as unbreakable.
We are fragile things.
It takes pain and humility
to finally see—
Something you admire in yourself. Something will never lose. Something you will never find.
completely whole—
completely home.
Not in places where you are a visitor,
but in the quiet room
where you can see everything you love
Indonesian translation :
Jejak di Tempat Rapuh
Kerendahan Hati dan Kekecewaan pada Perjalanan dan Konsumerisme
Kau tak ingin dengar cerita hidupku—
dan aku pun tak ingin bercerita.
Cerita itu sama saja,
beberapa orang saja
berusaha, dengan cara masing-masing,
bertahan hidup di dunia yang terus berputar
dengan sumbu miring.
Aku bahkan malu—
pernah tertipu oleh mitos
bahwa bergerak lebih banyak
berarti hidup lebih penuh.
Para pelancong bebas,
dengan kantong berlapis emas,
terbawa oleh kemudahan—
rasa gelisah mahal yang sama,
melukis wajah tiap orang,
meninggalkan jejak
di tempat rapuh yang tak pernah meminta kehadiran kita.
Mereka menyebut diri backpacker—
tapi di mana minimalismenya?
Ketika kita meninggalkan tempat
penuh kantong uang,
seperti rahasia kecil—
ketika kita cukup kaya
membawa seluruh hidup
dalam pesawat pintu putar.
Ah, mudah sekali menghakimi sesuatu
yang sebenarnya kita mampu lakukan—
seperti jangan tebang hutan itu
padahal seluruh bangsaku
sudah menghirup napas tanahnya.
Aku berkata pelan—
apakah kau meromantiskan gaya hidup ini
tanpa membuat kebenaranmu sendiri?
Ada lebih dari satu cara melihat dunia.
Negara-negara yang orang klaim pernah dikunjungi—
ilusi besar,
begitu luas,
kau hanya sempat mengintip
ruangan tempat kau berdiri,
sementara bumi menghela napas
di bawah jejak karbon
dan memerah di bawah budaya yang menipis.
Suatu hari kau sadar—
kau bisa saja hidup dalam satu momen.
Momen yang mendekatkanmu—
ke kulit yang kau kenakan,
ke hati yang kau bawa.
Di suatu tempat, semua orang belajar
bahwa tempat baru
tak selalu berarti permulaan baru—
bayangan yang sama
memerankan sandiwara baru,
dengan bahasa baru,
dari sudut matahari yang berbeda,
tapi naskahnya tetap sama—
siklus yang didorong oleh hasrat tak berujung,
oleh mitos bahwa bergerak lebih berarti hidup lebih.
Cap di paspor adalah tinta di atas kertas mati,
Tapi kapan terakhir kau melihat
kelembutan cahaya
yang terlempar di daun-daun gelisah,
menggerakkan keberadaan
menjadi
gerak.
Jadi aku diam di sini.
Aku hidup di sini
selamanya.
Apakah kau seorang pelancong?
Kita bisa bicara sebentar,
tapi kau harus berjanji—
untuk berbagi keheningan
seperti batu berbagi sungai,
tenang, bisu, sabar.
Kita bisa membahas masalah dunia ini,
tapi kemudian kita harus mematikan suara itu,
berbalik memandang setiap makhluk hidup
yang bernafas di sekitar kita—
dan bertanya-tanya apa yang telah kita tukar
untuk sensasi menggunakan paspor.
Aku tahu bagaimana tenggelam,
bagaimana meringkuk sampai hampir tak ada.
Aku masih merasakan asin basi di kulitku—
dan aku melihat serpihan plastik dari diriku
yang masih mengapung
di luar sana.
Aku menyeret kakiku
melalui tulang-tulang berderak
dari semua versi diriku
yang harus kubunuh dengan tangan kosong.
Kita harus bergerak—
tapi bukan seperti yang diklaim internet.
Karena gerak mengaburkan pandangan—
seperti foto goyang di balik mata tertutup—
dan pikiran gelisah tak pernah tenang.
Bagaimana bisa kau menyucikan air
jika air itu tak pernah tenang?
Apa kita?
sekitar enam puluh persen?
Bukankah itu inti dari semua ini?
Minum cukup air?
Bersikap lembut pada apa yang dulu
kita kira tak bisa patah.
Kita adalah makhluk rapuh.
Perlu rasa sakit dan kerendahan hati
untuk akhirnya melihat—
Sesuatu dalam dirimu
yang kau kagumi.
Sesuatu yang tak akan pernah hilang.
Sesuatu yang mungkin tak akan pernah kau temukan—
utuh sepenuhnya—
sepenuhnya rumah.
Bukan di tempat di mana kau hanya tamu,
tapi di ruang sunyi
tempat kau bisa melihat semua yang kau cintai.